KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN
NAMA : ANISA PUTRI UTAMI
KELAS : 3DD01
NPM : 31214292
TUGAS : CONTOH KASUS
PERLINDUNGAN KONSUMEN
HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN
- Hak-hak konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa, konsumen memiliki
sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting
agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya,
jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, ia secara
spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian bisa bertindak lebih jauh
untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak hanya tinggal diam
saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak
konsumen sebagai berikut :
- Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
- Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan .
- Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa.
- Hak untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
- Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
- Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
- Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimainatif.
- Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga terdapat hak-hak
konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang kewajiban pelaku
usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban
pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang disebutkan tersebut ada
juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan bisnis yang dilakukan oleh
pengusaha sering
dilakukan secara tidak jujur yang dalam hukum dikenal
dengan terminologi ” persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini diatur dalam UU No.
5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian jelaslah bahwa konsumen
dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya hak-hak konsumenyang
merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala sesuatu yang berkaitan
apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi konsumen, bagaimana
konsumen memperjuangkan hak-haknya.
2.
Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
- Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
- Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
- Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
- Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA
1.
Hak Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki
hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK
adalah:
- Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
- Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik.
- Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen.
- Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
- Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2.
Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut
ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
- Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
- Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
- Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
- Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
- Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
- Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
- Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan
kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini
berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku
usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima
pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik.
Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad
baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa
persaingan yang curang antar pelaku usaha.
PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha diatur dalam Pasal 8 – 17
UU PK. Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3
kelompok, yakni:
1. larangan bagi
pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan bagi
pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan bagi
pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan
ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
- Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
- Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
- Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
- Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
- Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
- Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh ketentuan tersendiri.
Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman tunduk pada UU No. 7
Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah memiliki pengaturan
yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah. Selain tunduk pada ketentuan
yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki itikad baik dalam berusaha.
Segala janji-janji yang disampaikan kepada konsumen, baik melalui label, etiket
maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan
sebagai berikut:
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan
sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan
atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai
apa itu rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa
Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
- Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
- Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
- Bekas: sudah pernah dipakai.
- Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan
tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut sudah tidak dapat digunakan
lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah
berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada awalnya benda tersebut baik dan
utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut yang bersatu dengan benda itu
sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada
ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut
serta wajib menariknya dari peredaran.
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung jawab produk timbul
dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari “ produk yang
cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai
dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan
hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 diatur psal
19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan
pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi
ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21 mengatur beban
dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap
ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam
pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal yang membebaskan
pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita konsumen, apabila
:
- Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
- Cacat barang timbul pada kemudian hari.
- Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
- Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
Lewatnya
jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu
yang diperjanjikan
SANKSI
BAGI PELAKU USAHA
Sanksi
Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
-Pengembalian uang atau
-Penggantian barang atau
-Perawatan kesehatan, dan/atau
-Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
-Pengembalian uang atau
-Penggantian barang atau
-Perawatan kesehatan, dan/atau
-Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
*
Hukuman tambahan , antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
KASUS 1
“INDOMIE DI
TAIWAN”
Kasus Indomie yang mendapat larangan untuk
beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan pengawet yang berbahaya bagi
manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang terkandung dalam
Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat).
Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk membuat kosmetik, dan
pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan untuk menarik semua jenis
produk Indomie dari peredaran. Di Hongkong, dua supermarket
terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini mendapat perhatian
Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM Kustantinah. “Kita
akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait produk Indomie itu,
secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX DPR, Ribka
Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (12/10/2010). Komisi IX
DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini bisa terjadai, apalagi
pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan adanya zat berbahaya
yang terkandung di dalam produk Indomie.
Ketua BPOM Kustantinah juga membenarkan tentang
adanya zat berbahaya bagi manusia dalam kasus Indomie ini.
Kustantinah menjelaskan bahwa benar Indomie mengandung nipagin, yang juga
berada di dalam kecap dalam kemasam mie instan tersebut. tetapi kadar kimia
yang ada dalam Indomie masih dalam batas wajar dan aman untuk
dikonsumsi, lanjut Kustantinah. Tetapi bila kadar nipagin melebihi batas
ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per kilogram untuk mie instan dan
1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain kecuali daging, ikan dan
unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa mengakibatkan muntah-muntah dan
sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah, Indonesia yang merupakan
anggota Codex Alimentarius Commision, produk Indomie sudah mengacu
kepada persyaratan Internasional tentang regulasi mutu, gizi dan kemanan produk
pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan anggota Codec. Produk Indomie yang
dipasarkan di Taiwan seharusnya untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena
standar di antara kedua negara berbeda maka timbulah kasus Indomie
ini.
Analisis
kasus berdasarkan Undang - Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Kasus penarikan indomie di Taiwan dikarena pihak
Taiwan menuding mie dari produsen indomie mengandung bahan pengawet yang tidak
aman bagi tubuh yaitu bahan Methyl P-Hydroxybenzoate pada produk indomie jenis
bumbu Indomie goreng dan saus barbeque. Hal ini disanggah oleh Direktur Indofood
Sukses Makmur, Franciscus Welirang berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses
Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie instan yang diekspor ke
Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan
Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya.
Permasalahan diatas bila ditilik dengan pandangan
dalam hokum perlindungan maka akan menyangkutkan beberapa pasal yang secara
tidak langsung mencerminkan posisi konsumen dan produsen barang serta hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh produsen.
Berikut adalah pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang berhubungan dengan kasus diatas serta jalan penyelesaian:
- Pasal 2 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Pasal 3 UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Pasal 4 (c) UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Pasal 7 ( b dan d )UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Perlu ditilik dalam kasus diatas adalah adanya
perbedaan standar mutu yang digunakan produsen indomie dengan pemerintahan
Taiwan yang masing-masing berbeda ketentuan batas aman dan tidak aman suatu zat
digunakan dalam pengawet,dalm hal ini Indonesia memakai standart BPOM dan CODEX
Alimentarius Commission (CAC) yang diakui secara internasional.
Namun hal itu menjadi polemic karena Taiwan
menggunakan standar yang berbeda yang melarang zat mengandung Methyl
P-Hydroxybenzoate yang dilarang di Taiwan. Hal ini yang dijadikan pokok masalah
penarikan Indomie. Oleh karena itu akan dilakukan penyelidikan dan investigasi
yang lebih lanjut.
Untuk menyikapi hal tersebut PT Indofood Sukses
Makmur mencantumkan segala bahan dan juga campuran yang dugunakan dalam bumbu
produk indomie tersebut sehingga masyarakat atau konsumen di Taiwan tidak rancu
dengan berita yang dimuat di beberapa pers di Taiwan.
Berdasarkan rilis resmi Indofood CBP Sukses Makmur,
selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie instan yang diekspor ke Taiwan
sudah memenuhi peraturan dari Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan
Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak berbahaya.
Direktur Indofood Franciscus Welirang bahkan
menegaskan, isu negatif yang menimpa Indomie menunjukkan produk tersebut
dipandang baik oleh masyarakat internasional, sehingga sangat potensial untuk
ekspor. Menurutnya, dari kasus ini terlihat bahwa secara tidak langsung
konsumen di Taiwan lebih memilih Indomie ketimbang produk mie instan lain. Ini
bagus sekali. Berarti kan (Indomie) laku sekali di Taiwan, hingga banyak importir
yang distribusi.
KASUS 2
“Kasus Penarikan
Produk Obat Anti-Nyamuk HIT”
Pada hari Rabu, 7 Juni
2006, obat anti-nyamuk HIT yang diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan
akan ditarik dari peredaran karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos
yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan terhadap manusia, sementara yang di
pabrik akan dimusnahkan. Sebelumnya Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi
Pestisida, telah melakukan inspeksi mendadak di pabrik HIT dan menemukan
penggunaan pestisida yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan
terhadap darah, gangguan syaraf, gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel
pada tubuh, kanker hati dan kanker lambung.
HIT yang promosinya
sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan murah ternyata sangat berbahaya karena bukan
hanya menggunakan Propoxur tetapi juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang
sejak puluhan tahun dilarang penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang
dinyatakan berbahaya yaitu jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair
isi ulang). Selain itu, Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari
Makmur ke Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni
2006.Korbannya yaitu seorang pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual
dan muntah akibat keracunan, setelah menghirup udara yang baru saja
disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Masalah lain kemudian
muncul. Timbul miskomunikasi antara Departemen Pertanian (Deptan), Departemen
Kesehatan (Depkes), dan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Menurut UU,
registrasi harus dilakukan di Depkes karena hal tersebut menjadi kewenangan
Menteri Kesehatan. Namun menurut Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini menjadi
tanggung jawab BPOM.
Namun Kepala BPOM
periode sebelumnya sempat mengungkapkan, semua obat nyamuk harus terdaftar
(teregistrasi) di Depkes dan tidak lagi diawasi oleh BPOM.Ternyata pada
kenyataanya, selama ini izin produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan.
Deptan akan memberikan izin atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas
terjadi tumpang tindih tugas dan kewenangan di antara instansi-instansi
tersebut.
Perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha
Adapun perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha yaitu :
1.
a. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan, peraturan
yang berlaku, ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
b. Tidak sesuai dengan
pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang
dan/atau jasa yang menyangkut berat bersih, isi bersih dan jumlah dalam
hitungan, kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran, mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu, janji yang
diberikan.
c. Tidak mencantumkan
tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang
tertentu, informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai
dengan ketentuan yang berlaku
d. Tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label
e. Tidak memasang
label/membuat penjelasan yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih, komposisi, tanggal pembuatan, aturan pakai, akibat sampingan, ama dan alamat pelaku usaha, keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
ukuran, berat/isi bersih, komposisi, tanggal pembuatan, aturan pakai, akibat sampingan, ama dan alamat pelaku usaha, keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
f. Rusak, cacat atau
bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar.
2.
Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa.
a. Secara
tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut telah memenuhi
standar mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah
atau guna tertentu, dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal
dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
b. Secara
tidak benar dan seolah -olah barang dan/atau jasa tersebut telah
mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan
tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu, dibuat perusahaan
yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi, telah tersedia bagi konsumen,
langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain, menggunakan
kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung
resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap, menawarkan sesuatu yang
mengandung janji yang belum pasti, dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan
jumlah tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan, dengan menjanjikan hadiah
cuma-cuma, dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tetapi tidak
sesuai dengan janji, dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk
obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan
kesehatan.
3. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa
untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan atau membuat
pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a. Harga/tarifdan
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
b. Kondisi,
tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
c. Kegunaan
dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
4. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa
untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang
a. Tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
b. Mengumumkan
hasilnya tidak melalui media massa.
c. Memberikan
hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak
setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
5. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa,
dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan
gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
6. Dalam hal penjualan melalui obral atau
lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan
a.
Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu
tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
b.
Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang
lain.
c.
Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan
maksud menjual barang lain.
Sumber:
http://perlindungankons.blogspot.com/2013/06/contoh-kasus.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen
http://perlindungankons.blogspot.com/2013/06/contoh-kasus.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Perlindungan_konsumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar